Nusyuz

  1. A.    Ayat dan Hadist tentang Nusyuz

Ayat al-Qur’an:

 

 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS. An-Nisa’:34)

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (128)

Artinya :“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa’:128)

Hadits:

عن معاوية القشيري, قال:قلت:يارسول الله,ماحق زوجة أحدنا عليه, قال: (أن تطعمها إذاطعمت, وتكسوها إذااكتسيت, ولاتضرب الوجه, ولاتقبح, ولاتهجر إلافي البيت) رواهأبوداودوابن ماجه وأحمد والنسائي

     “Dari Muawiyah al-Qusyairiy berkata: aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, apakah hak istri kami?” Beliau menjawab, “memberinya makan jika kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencaci maki, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah“.( H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i)

  1. B.     Analisis Lafadz

Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).

Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ  ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial,seperti dipahami oleh penganut teori culture.

Pada kalimat  الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itu, jihad menjadi kewajiban atas pria,dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung nafkah atas wanita[1].

Imam Ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya[2].

Pada frasaبِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ, huruf ba’ nyaadalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata  . قَوَّامُونَDengan begitu dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita[3].

Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita”..(QS al-Baqarah: 228). Selain itu, karena laki-lakiberkewajiban menafkahi istri dan anak anaknya.

Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari,  bahkan hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat, kecuali belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan denganwacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.

Ibn ‘Abbas, misalnya, mengartikan kataقَوَّامُونَ  sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani (1981: 149) dalamkitab tafsirnya Marah Labid. 

Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata    قَوَّامُونَ bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.

Al-Baghawi, ketika menafsirkan kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ  ,menyatakan bahwa maknanya adalah pria (suami) berkuasa untuk mendidik wanita (istrinya). Artinya, prialah yang menjalankan berbagai kemaslahatan,pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah berikan kepadanya atas wanita. Pria memiliki kelebihan atas wanita dari segi akal, agama, dan kewalian. Pria, misalnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad,ibadah (seperti salat Jumat dan salat berjamaah); kebolehan menikahi sampai empat istri; hak talak; dalam warisan mendapat dua bagian; dst. Semua itu tidak dimiliki wanita[4].

Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanitakarena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena priadiberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpinatas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surat an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk mendidik wanita[5].

Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakanbahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal yangmemang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha[6]

Tentang kelebihan laki-laki atas wanita, Imam ‘Ali ash-Shabuni dalamtafsirnya juga mengatakan bahwa kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءAdalah jumlah ismiyyah yang berfungsi sebagai  dawam dan istimrar  (tetap dan kontinu).

  1. C.    Asbabun Nuzul

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id binRabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena telah melakukan nusyuz  (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian dating kepada Rasulullah Saw. dan mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishas  kepada Sa‘id. Maka turunlah surat an-Nisa‘ ayat 34 ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishas tersebut[7].

Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasulullah Saw dan mengadukan permasalahannya. Rasulullah memutuskan qishash di antara keduanya. Maka turunlah ayat berikut:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (114)

 

Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu,  dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha : 114).

Ayat di atas tersebut sebagai teguran kepadanya dan surat an-Nisa’ ayat 34 sebagai ketentuan hak suami di dalam mendidik istrinya[8].

  1. D.    Munasabah dengan Ayat

Ayat Sebelumnya:

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (33)

      Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sungguh Allah menyaksikan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’:33)

Munasabah surat An-Nisa’ ayat 33 di atas dengan penggalan kata yang kami pilih, Ahli waris terdiri dari kaum kerabat si mayit, baik laki-laki maupun perempuan. Bagian waris laki-laki lebih besar daripada bagian waris perempuan, karena pada hakikatnya laki-laki adalah pelindung perempuan dan karena laki-laki mempunyai kewajiban memberi nafkah. Selain itu, laki-laki lebih mempunyai kemampuan intelektual dan manajerial.

 

Ayat sesudahnya :

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)

Artinya :“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. An-Nisa’ :35)

Munasabah surat An-Nisa’ ayat 35 diatas dengan penggalan kata yang kami pilih. Laki-laki mempunyai kewajiban mengurus istrinya karena laki-laki lebih punya kemampuan intelektual. Dalam hal ini sebab laki-laki mendapat hak waris lebih besar daripada perempuan (istri). Waris ini juga merupakan sarana laki-laki (suami) dalam mendidik perempuan (istri). Seorang istri wajib menaati suami karena suami secara sungguh-sungguh menjaga dan mengurusi istri. Maka dari itu, apabila istri mulai membangkang, suami juga tetap mendidik istri dengan cara-cara tersebut. Namun, apabila cara tersebut gagal maka masing-masing keluarga mengirim juru damai supaya persengketaan tersebut selesai.

  1. E.     Hukum yang Terkandung

Menurut Muhammad ‘Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh isteri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya:

  1. Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
  2. Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
  3. Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
  4. Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya[9].

Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa’ Ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz[10]. Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya[11].

Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal[12].

Menurut madzhab Hanafi, apabila seorang isteri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang isteri di rumah suami[13].

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa kewajiban-kewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah, menyediakan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari isterinya.Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri nusyuz[14].

Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama isteri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap isterinya seperti yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya. Dan untuk kewajiban suami terhadap isteri nusyuz yang gugur tersebut belaku kembali jika isteri sudah tidak nusyuz lagi[15].

Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116.

Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut, walaupun seorang isteri memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri. Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya  saat ia nusyuz, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami[16].

Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut[17].

Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakamlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakam dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Hakam juga membolehkan sang isteri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami belum sadar juga, maka hakam dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki diri, maka hakam boleh memutuskan perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa’ (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakam[18].


[1]Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr , juz V, 54.

[2]‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr ,  273.

[3] Mahmud al-Andalusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma‘anii , 23.

 

[4]Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., 54.

[5]Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dar al-Mansyur fi at-Tafsir al-Ma’tsur , Beirut: Darul Fikr ,juz III, 512-513.

[6]Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘anTa’wil al-Qur’an, V/48. Beirut: Dar al-Fikr.

[7]Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir , juz V, 53-54.

[8]Kh. Qamaruddin Saleh, dkk.  Asbabun Nuzul, (Bandung: CV. Diponegoro) , 1995, 131.

[9]Muhammad ‘Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan., 370-371.

[10]Ensiklopedi Hukum Islam, 1355

[11]Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujjayn., 7.

[12]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam., 81

[13]Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1964), 102.

[14]KHI, Pasal 80 Ayat (4), (5) dan (7).

[15]Ibid., Pasal 84 Ayat (2), (3) dan (4).

[16]Saleh Ganim, Nusyuz, 60.

[17]Ibid., 61

[18]Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran,cet. I, (Yogyakarta: LkiS, 2003),  279.

Tinggalkan komentar