- RUANG LINGKUP HAK ATAS TANAH
Hak atas tanah sebagai suatu ubungan hukum didefinisikan sebagai “hak atas permukaan bumi yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang udara di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.” Hal itu mengandung arti bahwa hak atas tanah itu disamping memberikan wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya.[1]
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu; “atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun barsama-sama dengan orang lainserta badan-badan hukum.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 diatas ditentukan dalam pasal 16 ayat 1, yang bunyinya sebagai berikut
(1) Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah;
- a. Hak milik
- b. Hak guna usaha
- c. Hak guna bangunan
- d. Hak pakai
- e. Hak sewa
- f. Hak membuka tanah
- g. Hak memungut hasil hutan
- h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu;
- Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakian tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA)
- Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat Khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah mengunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah hanya menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, perternakan, atau perkebunan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi 3 bidang, yaitu;
- Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan UU yang baru.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, Hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.
- Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan UU
Yaitu hak atas tanah akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan UU
- Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal, dan bertentanga denga jiwa UUPA.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal jo. Pasal 53 UUPA tidak bersifat liminatif, artinya disamping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan UU.
Dari segi asal tanahnya, hak tanah dibadakan menjadi 2 kelompok, yaitu;
- Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, hak pakai atas tanah negara.
- Hak atas tanah yang bersifat sekunder
Yaitu hak tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan atas tanah hak pengolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, dll.[2]
- HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT TETAP
- HAK MILIK
Ketentuan mengenai hak milik disebutkan dalam pasal 16 ayat 1 huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam pasal 20 s/d pasal 27 UUPA. Menurut pasal 50 ayat 1 UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan UU. UU yang diperintahkan disini sampai sekarang belum terbentuk. Untuk itu deberlakukan Pasal 56 UUPA, yaitu selama UU tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lain sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.
- Pengertian Hak Milik
Hak milik menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipenuhiorang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang masih memenuhi syarat sebagai subject hak milik. Terkuat artinya hak mili, atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemilikya paling luas bila dibandingkan denagn hak atas tanah yanng lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan atas hak tanah yang lain.
- Subyek Hak Milik
- Perseorangan
Hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA)
- Badan-badan hukum
Pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA)
Dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan diindonesia maupun yang diluarnegeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam PP No 38 Tahun 1963. Yang terdiri dari;
- Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara)
- Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU N0 79 Tahun 1958.
- Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri pertanian/agraria setelah mendengar Menetri Agama
- Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.[3]
Maka pada dasarnya hak milik diperuntukkan khusus bagi awrga negara indonesia saja yang berkewarganagaraan tunggal. Baik untuk tanah yang diusahakan maupun untuk keperluan membangun sesuatu diatasnya.[4]
- Terjadinya Hak Milik
Melalui 3 cara disebutkan dalam Pasal 22 UUPA:
- Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat
Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibing)
- Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak milik atas tanah yang terjadi disini berasal dari tanah Negara. Hak milik atas tanah ini terjadi kerena permohonan pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh BPN
- Hak milik atas tanah terjadi kerena ketentuan undang-undang
Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, Pasal II, dan pasal III dan pasal VII ayat(1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
- Hapusnya Hak Milik (Pasal 27 UUPA)
- karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
- karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
- karena ditelantarkan
- karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah
- kerena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak milik atas tanah.
- HAK GUNA USAHA
Ketentuan mengenai Hak guna usaha disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA
- Pengertian Hak Guna Usaha (Pasal 28 Ayat 1 UUPA)
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. PP No. 40 tahun 1996 menambah guna perusahaan perkebunan
- Luas Hak Guna Usaha
a) Adalah perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimal 25 hektar
b) Badan hukum luas minimal 5 hektar dan luas maksimal ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan nasional (pasal 28 ayat 2 UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 tahun 1996)
- Subjek Hak Guna Usaha (Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996, adalah:
a) warga Negara Indonesia
b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
- Asal Tanah Hak Guna Usaha
a) Adalah tanah Negara
b) Terjadinya hak Guna Usaha dengan penetapan pemerintah
- Jangka Waktu Hak Guna Usaha
a) Menurut Pasal 29 Uupa
Pertama kali paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun
b) Menurut Pasal 8 No 40 Tahun 1996
Pertama kali paling lama 35 tahun diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui 25 tahun
- Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha (Pasal 12 Ayat 1 PP No. 40 Tahun 1996,Pemegang Hak Guna Usaha Berkewajiban Untuk :
a) Membayar uang pemasukan kepada Negara
b) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam pemberian keputusan pemberian haknya
c) Mengusahakan sendiri tanah hak guna usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh instansi teknisi
d) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal hak guna usaha
e) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku
f) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunan hak Guna Usaha
g) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus
h) Menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus kepada kepala kantor pertanahan
- Hak Pemegang Hak Guna Usaha
Pemegang hak guna usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna usaha untuk melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau peternakan (Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 tahun 1996)
- Hapusnya Hak Guna Usaha (Pasal 34 UUPA)
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhinya
c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d) dicabut untuk kepentingan umum
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) ketentuan dalam pasal 30 ayat 2
Menurut pasal 17 PP 40 tahun 1996 faktor-faktor penyebab hapusnya hak guna usaha dan berakibat tanahnya menjadi tanah negara adalah:
- berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya
- dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
- hak guna usahanya dicabut
- tanahnya ditelantarkan
- tanahnya musnah
- pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak guna usaha.
Pasal 18 PP No 40 tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya hak guna usaha bagi pemegang Hak guna usaha :
- apabila hak guna usaha hapus dan tidak dapat diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas hak guna usaha tersebut kepada Negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN
- apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden
- pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak guna usaha
- jika bekas pemegang hak guna usaha lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas hak guna usaha dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak guna usaha
- HAK PAKAI
Ketentuan hak pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf d UUPA secara khusus diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA.
Yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemiliknya tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (pasal 41 ayat 1 UUPA)
Perkataan “Menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perktaan “memungut hasil”ndalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya; pertanian, perikanan, perternakan, perkebunan.[5]
- Subyek Hak Pakai (Menurut Pasal 42 UUPA)
a) Warga Negara Indonesia
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
Menurut Pasal 39 PP No. 40 tahun 1996, yaitu:
a) warga Negara Indonesia
b) badan hukum yang didrikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
c) Departemen, lembaga pemerintah Non Departemen dan pemerintah daerah
d) Badan-badan keagaman dan social
e) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
f) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
g) Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional
Khusus subject Hak Pakai yang berupa orang asing yang berkedudukan diindonesia diatur dalam PP No 41 tahun 1996 Tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian bagi orang asing yang berkedudukan diindonesia.[6]
- Asal Tanah Hak Pakai
- Menurut pasal 41 ayat 1 UUPA menyebutkan bahwa asal tanah hak pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain
- Menurut pasal 41 PP No. 40 tahun 1996 menyebutkan tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik.
- Terjadinya Hak Pakai
a) Hak pakai atas tanah Negara
Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional. Hak pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian hak pakai didaftarkan kepada kepala Kantor pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti
b) Hak pakai atas tanah hak pengelolaan
Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak pakai oleh BPN berdasarkan usul pemegang hak pakai. Hak pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian hak pakai didaftarkan kepada kepala Kantor pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti
c) Hak pakai atas tanah hak milik
Hak pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatatkan dalam buku tanah.
- Jangka Waktu Hak Pakai
Pasal 41 ayat 2 UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka waktu hak pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu
Dalam PP 40 Tahun 1996 Jangka Waktu Hak Pakai Diatur Dalam Pasal 45 Sampai Pasal 49:
a) Hak pakai atas tanah Negara
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun
b) Hak pakai atas tanah pengelolan
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun
c) Hak pakai atas tanah hak milik
Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi.
- Kewajiban Pemegang Hak Pakai (Berdasarkan Pasal 50 dan Pasal 51 PP no 40 Tahun 1996 )
a) membayar uang pemasukan Negara yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik
b) menggunakan tanah sesuai dengn peruntukannya dan persyaratan sebagaimana diterapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik
c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup
d) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada Negara,pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanah sesudah hak pakai tersebut hapus
e) menyerahkan sertifikat hak pakai yang telah hapus kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat
f) memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak pakai
- Hak Pemegang Hak Pakai (Berdasarkan Pasal 52 PP No.40 tahun 1996)
a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya
b) memindahkan hak pakai kepada pihak lain
c) membebaninya dengan hak tanggungan
d) menguasai dan mempergunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu
- Hapusnya Hak Pakai (Menurut pasal 55 PP No.40 tahun 1996)
a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktu berakhir karena;
ü tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai
ü tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan
ü putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir
d) hak pakainya dicabut
e) ditelantarkan
- Konsekuensi Hapusnya Pemegang Hak Pakai Menurut Pasal 57 PP No. 40 Tahun 1996
a) apabila hak pakai atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang dan diperbaharui maka bekas pemegang hak pakai wajib membongkar bangunan dan benda benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak hapusnya hak pakai
b) dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada bekas pemegang hak pakai diberikan ganti rugi
c) jika bekas pemegang hak pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar hak pakai, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak pakai
- HAK GUNA BANGUNAN
Ketentuan mengenai hak Guna bangunan disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 huruf c UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA
- Pengertian Hak Guna Bangunan (Pasal 35 UUPA)
Hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun
- Asal Tanah Hak Guna Bangunan
- Pasal 37 UUPA menegaskan hak guna bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain
- Pasal 21 PP No.40 tahun 1996 menegaskan tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik.
- Subjek Hak Guna Bangunan Pasal 36 UUPA Jo Pasal 21 PP N0. 40 Tahun 1996 :
ü warga Negara Indonesia
ü Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
- Terjadinya Hak Guna Bangunan
a) Hak guna bangunan atas tanah Negara
Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh BPN berdasarkan pasal 4, pasal 9 dan pasal 14 PERMEN Agraria / kepala BPN No.3 tahun 1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 48 Permen agrarian /Kepala BPN No.9 tahun 1999
b) Hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan
Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak usul pemegang hak pengelolaan yang diterbitkan oleh BPN berdasarkan pasal 4, PERMEN Agraria / kepala BPN No.3 tahun 1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Permen agrarian /Kepala BPN No.9 tahun 1999
c) Hak guna bangunan atas tanah hak milik
Hak guna bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
- Jangka Waktu Hak Guna Bangunan
Pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 tahun 1996.
Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
- Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali 30 tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun
Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan
- Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali 30 tahun dapat diperpanjanguntuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun
Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
- Hak guna bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak dapat diperpanjang jangka waktu. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak guna bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian hak guna bangunan yang baru dengan akta yang dibuat PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor pertanahan kabupaten /kota setempat
- Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan (Pasal 30 Dan Pasal 31 PP No.40 Tahun 1996)
a) membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya
b) menggunakan tanah sesuai dengan dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya
c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga lingkungan hidup
d) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan dihapus
e) menyerah kan hak guna bangunan yang telah dihapus kepada kepala kantor pertanahan
f) membagi jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak guna bangunan tersebut
- Hak Pemegang Hak Guna Bangunan
a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu
b) mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya
c) mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain
d) membebani dengan hak tanggungan
- Hapusnya Hak Guna Bangunan (Pasal 40 Uupa)
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir kerena suatu syarat tidak dipenuhi
c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d) dicabut untuk kepentingan umum
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) ketentuan dalam pasal 36 ayat 2
- Faktor-Faktor Penyebab Hapusnya Hak Guna Bangunan Adalah:
a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka waktunya berakhir,
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d) hak guna bangunannya dicabut
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak guna bangunan
Tidak dipenuhi, karena:
ü tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak guna bangunan
ü tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak guna bangunan antara pemegang hak guna bangunan dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan
ü putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
- Akibat Hapusnya Hak Guna Bangunan (Pasal 36 PP No.40 Tahun 1996)
a) hapusnya hak guna bangunan atas tanah Negara mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara
b) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali kepada pemegang hak pengelolaan
c) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik mengakibatkan tanahnya kembali kedalam penguasaan pemilik tanah
- Konsekuensi Pemegang Hak Guna Bangunan Atas Hapusnya Hak Guna Bangunan (Pasal 37 dan 38 PP No 40 Tahun 1996v
a) apabila hak guna bangunan hapus dan tidak dapat diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya hak guna bangunan
b) apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas diperlukan, maka kepada pemegang baik pemegang hak guna bangunan diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden
c) pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak guna bangunan
d) jika bekas pemegang hak guna bangunan lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas hak guna bangunan dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak guna bangunan
e) apabila hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan atau atas tanah hak milik hapus , maka bekas pemegang hak guna bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang hak pengelolaan atau pemegang hak milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian hak guna bangunan atas tanah hak milik
- HAK SEWA UNTUK BANGUNAN
Ketentuan disebutkan dalam pasal 16 ayat 1 huruf e UUPA, secara khusus diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA
- Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan
Menurut pasal 44 ayat 1 UUPA
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
- Objek Hak Sewa Untuk Bangunan
Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah hak milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada pihak lain(pemegang hak sewa bangunan) adalah tanah bukan bangunan
- Pemegang Hak Sewa Bangunan (Menurut pasal 45 UUPA)
a) warga negara Indonesia
b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan bekedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
- Jangka Waktu Hak Sewa Untuk Bangunan
UUPA tidak mengatur secara tegas jangka waktu hak sewa untuk bangunan, jangka waktu diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan
- Hapusnya Hak Sewa Untuk Bangunan
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir dikarenakan pemegang hak sewa untuk bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak sewa untuk bangunan
c) dilepaskan oleh pemegang hak sewa untuk bangunan sebelum jangka waktunya berakhir
d) hak milik atas tanah dicabut untuk kepentingan umum
e) tanahnya musnah
- HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA
Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaannya dalam hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara” artinya pada suatu waktu hak-hak tersebut sebagai suatu lembaga hukum tidak akan ada lagi. Hak yang dimaksud adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Menumpang dan Hak Sewa untuk usaha pertanian. (Pasal 53)
- HAK GADAI (GADAI TANAH)
Menurut Boedi Harsono HaK gadai (gadai tanah) adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan tergantung kepada kemauan atau kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.
- Para Pihak Dalam Hak Gadai(Gadai Tanah)
a) pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai
b) pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai adalah penerima(pemegang) gadai.[7]
- Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah)Dengan Gadai Dalam Hukum Perdata
Hak gadai tanah terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan gadai menurut hukum perdata terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan sebagai perjanjian ikutan.
- Jangka Waktu Hak Gadai (Gadai Tanah)
a) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan
Dalam hak gadai (gadai tanah)tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu
b) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya ditentukan
Dalam hak gadai (gadai tanah)ini. Pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam hak gadai (gadai tanah ) berakhir.
- Ciri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah) Menurut Hukum Adat:
a) hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
b) pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
c) pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus
d) tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus
Menurut Boedi Harsono sifat dan ciri-ciri Hak gadai (gadai tanah):
a) hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya pada suatu waktu akan hapus
b) hak gadai (gadai tanah ) tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai
c) Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang lain
d) hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dengan pihak ketiga (memindahkan gadai atau doorverpanden)
e) hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain
f) selama hak gadai (gadai tanah)nya berlangsung makaatas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai)
g) sebagai lembaga,hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan hapus
- Hapusnya Hak Gadai (Gadai Tanah)
a) telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanah (pemberi gadai)
b) hak gadai sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
c) adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pemegang gadai menjadi pemilik tanah atas tanah yang digadaikan karena pemilik tanah tidak dapat menebus dalamjangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam gadai tanah
d) tanahnya dicabut untuk kepentingan umum
e) tanahnya musnah
- HAK USAHA BAGI HASIL (PERJANJIAN BAGI HASIL)
- Pengertian
Pasal 53 UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak usaha bagi hasil.
Menurut boedi harsono
Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati
- Mekanisme Hak Usaha Bagi hasil (perjanjian bagi hasil)
Perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka Kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam kerapatan desa yang bersangkutan (Menurut UU No 2 tahun 1960)
- Tujuan Mengatur Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No.2 Tahun 1960
a) Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil;
b) Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi penggarap;
c) Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b diatas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya.
- Sifat-sifat Dan Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi hasil)
Menurut Boedi Harsono
a) Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas
b) Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin pemilik tanahnya
c) Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
d) Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia
e) Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus (diKantor Kepala desa)
f) Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus
- Jangka waktu Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil)
Menurut Hukum Adat
Jangka waktu hak usaha bagi hasil hanya berlaku satu (1)tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan jangka waktunya tergantung pada kesediaan pemilik tanah, sehingga bagi penggarap tidak ada jaminan untuk dapat menggarap dalam waktu yang layak
- Jangka Waktu Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Menurut UU no 2 tahun 1960
a) Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun
b) Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
c) Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan hak dan kewajiban yang sama
d) Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila jika ada persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada kepala desa
- Hak Dan Kewajiban Pemilik Tanah
a) Hak pemilik tanah
b) Berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oelh kedua belah pihak dan berhak menuntut pemutusan hubungan bagi hasil jika ternyata kepentingannya dirugikan penggarap
c) Kewajiban pemilik tanah
d) Menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan membayar pajak atas tanah yang garapan yang bersangkutan
- Hak Dan Kewajiban Penggarap Tanah
Hak penggarap tanah
Selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak
Kewajiban penggarap
Mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan bagian hasil tanah yang menjadi hak pemilik tanah, memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi hasil
- Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil
a) jangka waktunya berakhir
b) atas persetujuan kedua belah pihak , perjanjian bagi hasil diakhiri
c) pemilik tanahnya meninggal dunia
d) adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan dalam perjanjian bagi hasil
e) tanahnya musnah
- HAK MENUMPANG
- Pengertian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak menumpang
Menurut Boedi harsono
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain.
- Cara Terjadinya
Hak menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat desa/kelurahan,sehingga jauh dari kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
- Sifat Dan Ciri-Ciri Hak Menumpang
a) tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat dihentikan
b) hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut
c) pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang sewa)kepada pemilik tanah
d) tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan
e) bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
f) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya
- Hapusnya Hak Menumpang
a) pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum antara pemegang hak menumpang dengan tanah yang bersangkutan
b) hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan umum
c) pemegang hak menumpang melepaskan secara sukarela hak menumpang
d) tanah musnah
- HAK SEWA TANAH PERTANIAN
- Pengertian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan hak sewa tanah pertanian.
Hak sewa tanah pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain (penyewa)dalamjangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
- Cara Terjadinya
Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsure-unsur para pihak , objek, uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan penyewa.
- Hapus Hak Sewa Tanah
a) jangka waktunya berakhir
b) hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah
c) hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa
d) hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa
e) hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum
f) tanahnya musnah
- APLIKASINYA
Kewenangan mempergunakan tanah dalam arti permukaan bumi tersebut, secara wajar diperluas hingga meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian ruang yang ada diatasnya, karena tidak mungkin untuk keperluan apapun yang dugunakan hanya tanahnya saja yang berupa permukaan bumi itu. Demikian juga dengan air yang ada diatas maupun didalam bumi dibawah tanah yang dihaki. Pemegang hak atas tanah boleh menggunakan untuk keperluan pribadinya, misalnya untuk keperluan sehari-hari bagi kegiatan rumah tangga dan usahanya, dalam batas-batas kewajaran.
Yang diperluas hingga meliputi sebagian tubuh bumi, sebagian ruang dan air tersebut adalah penggunaannya, bukan pemilikannya.
- Pembatasan Kewenangan
Pembatasan yang bersifat umum misalnya adalah bahwa penggunaan wewenang tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian atau mengganggu bagi pihak lain. Dalam hubungan ini kita mengenal apa yang disebut “ajaran penyalahgunaan hak”. Pembatasan dalam penggunaan hak tersebut dapat pula terletak pada sifat daripada haknya sendiri. Misalnya tanah Hak Guna Bangunan tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak tersebut diadakan khusus bagi penyediaan tempat untuk bangunan.
- Tolok Pembeda
Biarpun semua hak atas tanah yang disebut diatas memberikan kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki, tapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan penggunaan tanahnya dan batas waktu penguasaannya merupakan tolak pembeda antara hak tanah yang satu dengan hak tanah yang lain. Hak milik misalnya, sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak atas tanah yang ada, boleh digunakan untuk segala keperluan yang terbuka bagi hak-hak atas tanah yang lain, tanpa batas waktu. Hak Guna Usaha sebaliknya hanya boleh digunakan untuk keperluan usaha pertanian, perternakan dan perikanan, selama jangka waktu penggunaan yang terbatas. Demikian juga Hak Guna Bangunan, hanya terbuka kemungkinan penggunaan tanahnya untuk keperluan pembangunan yang terbatas.
- Kewajiban
Hak-hak tanah dalam Hukum Tanah Nasional meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memlihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah, dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa; semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri.
Dalam penjelasan umum fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA juga memperhatikan kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan perseorangan atau kepentingan masyarakat haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok; kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 Ayat 3).
Demikianlah tanah yang dihaki seorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi mempunyai hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa indonesia seluruhnya. Sebagai konskuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya yang berkepentingan yang berhak sendiri saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan kepentingan masyarakat.
Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya; kadaan tanahnya, serta sifat tujuan dan pemberian haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan maka hal tersebut dapat mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Dalam hal demikian tanah tersebut termasuk golongan yang “diterlantarkan” (penjelasan Pasal 27). Jika tanah Hak Milk, tanah Hak Guna Usaha, tanah Hak Guna Bangunan diterlantarkan, haknya akan dihapus dan tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara, artinya menjadi tanah Negara kembali (Pasal 27 ayat a/3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e)[8]
[1] Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta, Kompas, 2008, hlm.128
[2] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2007, hlm.87-89
[3] Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008, hlm 31-32
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2008, Hlm.286
[5] Urip Santoso, Op Cit, hlm.115
[7] Urip Santoso, Op Cit, hlm.130-131
[8] Boedi Harsono, Op. Cit, hlm.300